Keseimbangan adalah keselarasan antara dua sisi. Seimbang antara kinerja otak kanan dan kiri, seimbang mengejar ilmu dunia dan akhirat, seimbang antara hak dan kewajiban
.
Otak manusia terdiri dari belahan otak kiri dan kanan. Otak kiri berkaitan dengan fungsi akademik yang terdiri dari kemampunan berbicara, kemampuan mengolah tata bahasa, baca tulis, daya ingat (nama, waktu dan peristiwa), logika, angka, analisis, dan lain-lain. Sementara otak kanan tempat untuk perkembangan hal-hal yang bersifat artistik, kreativitas, perasaan, emosi, gaya bahasa, irama musik, imajinasi, khayalan, warna, pengenalan diri dan orang lain, sosialisasi, pengembangan kepribadian. Para ahli banyak yang mengatakan otak kiri sebagai pengendali IQ (Intelligence Quotient), sementara otak kanan memegang peranan penting bagi perkembangan EQ (Emotional Ouotient) seseorang.
Keseimbangan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Tatkala manusia menginginkan hidup yang harmonis, baik secara individual, sosial, maupun vertikal, maka pilihannya adalah membangun keseimbangan yang telah digariskan ALLAH SWT secara konsisten. Andai terhadap diri sendiri manusia tak mampu membangun keseimbangan, maka mustahil ia akan mampu menciptakan keseimbangan bagi sosial masyarakatnya. Jika hal ini terjadi, maka ketidakadilan akan tercipta, social chaos akan terbangun, malapetaka muncul di mana-mana, dan kezaliman akan merajalela. Bisa jadi bangsa ini akan senantiasa menciptakan generasi yang berkualitas, namun dalam bingkai yang tidak seimbang.
Mesin pendidikan yang lebih menekankan aspek intelektual, tanpa aspek spritual dan emosional atau bahkan pola hidup yang lebih mengedepankan kenikmatan sesaat dengan melupakan hak orang lain dan tujuan hidup yang lebih panjang, justru menjadi ancaman tatanan kehidupan ini.
Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Kejujuran menjadi sesuatu yang langka, karena semua berusaha menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidupnya.
Keseimbangan ilmu dunia dan akhirat menjadi kunci utama, Allah menjelaskan :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(Al Qashash : 7)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut: “Pergunakanlah karunia yang telah Allah berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini, untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di akhirat. Firman Allah “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi”, yaitu dari apa-apa yang dibolehkan Allah berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allah mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemiliknya.